about suicide.

Dan Orizein
6 min readJan 1, 2021
sumber gambar: google

[I wrote this originally when I was 19 years old. Then I rewrite this here, dengan sedikit ubahan tentunya.]

Perilaku manusia tidak bisa atau kurang cocok dengan penilaian benar atau salah. Benar-salah, seperti logika matematika atau ilmu komputer, bernilai 1 (benar) atau 0 (salah). Sementara, segala perilaku manusia adalah respon/reaksi terhadap suatu kejadian. Kalau dinilai benar-salah, mengapa bisa manusia salah merespon? Apa otaknya memproses dan memberi perintah yang tidak sesuai? Mengapa hal itu bisa terjadi? Apa ada sesuatu yang salah pula dalam sistem otaknya? Well .. Allah tidak mungkin salah menciptakan, kan?

Psikolog yang pernah menangani saya saat saya mengalami fase depresi mayor menjelaskan bahwa perilaku manusia didasarkan pada pola pikir dan apa yang dipercayainya, bukan pada kejadiannya (salah satu teori di Cognitive Behaviour). Berdasarkan itu, tindakan manusia, caranya bersikap dan berperilaku, hanya bisa “dinilai” dalam artian dipahami berdasarkan pola pikirnya.

Saya pikir, lebih cocok jika penilaiannya boleh atau tidak boleh, baik atau buruk, sesuai atau tidak sesuai, patut atau tidak patut. Sebab hal ini menggambarkan manusia seperti apa adanya.

Ketika berada di fase depresi mayor, saya merasa terdiskoneksi dan terisolasi dari dunia manusia, satu-satunya orang yang bisa saya ajak bicara hanya teman dekat saya yang tidak sengaja tahu mengenai kondisi depresi saya. Saat itu, saya memang sering berpikir untuk bunuh diri dan satu-dua kali melakukan percobaan bunuh diri. Teman dekat saya tahu akan hal itu, lalu dia bilang, “bunuh diri itu, semacam ngereset satu peradaban”, yang saya pahami sebagai “bunuh diri itu salah, dan dianggap sebagai tragedi bagi masyarakat”.

Kemudian secara otomatis saya membatin, mengapa bunuh diri itu salah? mengapa bunuh diri dianggap tragedi oleh masyarakat?

Setiap manusia memiliki hak antara menjalani hidup (terus berjuang mempertahankan kehidupannya) atau meninggalkan hidup (mati dalam makna harfiah), kan?

Kalau bagi saya, mati adalah jalan keluar untuk menghentikan hidup, bukan karena tidak percaya hidup mungkin lebih baik ke depannya, tetapi karena hidup pun bisa semakin lebih buruk ke depannya .. kenapa saya tidak boleh mati saja? Hidup atau mati itu hak saya, kan?

Kenapa bunuh diri itu salah? Karena bunuh diri itu buruk? Kenapa bunuh diri itu buruk? Bagi saya, dalam pandangan di titik ini, baik-buruk tak lagi bisa dilihat warnanya. Bagi saya, bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar agar segalanya tidak semakin memburuk.

Bagi saya, setelah saya mati, saya takkan merasakan apa-apa lagi. Saya tidak ada seperti sejak awal waktu hingga sebelum saya lahir. Tak ada lagi hal-hal yang menyiksa atau membuat jiwa saya nglambrang.

Jika ditanya, apakah tidak ada alasan eksternal untuk saya agar tetap bertahan hidup? Kedua orang tua saya bisa menjadi alasan. Adik-adik saya bisa menjadi alasan. Kawan-kawan yang tahu keadaan saya bisa menjadi alasan. Namun, sampai sejauh mana saya bisa bertahan dalam kesakitan demi orang lain yang seringnya .. saya merasa tidak terkoneksi dengan mereka? Ketika mereka mati, maka alasan saya untuk bertahan hidup pun hilang, kan?

Pada akhirnya, entah mengapa, semua itu tidak menggerakkan. Everything becomes blur; the entire universe and life itself become meaningless to me.

Bahkan, bagi saya saat itu, perkataan ‘temukan alasan untuk tetap hidup!’ adalah hal yang tidak masuk di akal saya. Mengapa harus tetap hidup kalau saya tidak tertarik untuk hidup?

Perkataan bahwa ‘kau tidak sendirian’ pun juga tidak masuk di akal saya. We are all alone in our own mind since the first place, aren’t we? Bagaimana pun, saya akan tetap terjebak dalam penjara yang bernama kesadaran diri saya sendiri dan karenanya, saya akan menghadapi kehidupan sendirian.

And I’m afraid to death.

Akhirnya saya bertanya pada psikolog yang menangani saya saat itu, soal mengapa bunuh diri dianggap sebagai tragedi, karena jika orang-orang ingin saya tetap hidup maka masalah ini harus saya “pecahkan” sampai ke akarnya.

Di awal proses menjawab, beliau mulanya menjelaskan mengenai A tidak menyebabkan C, tapi B menyebabkan C. Perilaku manusia tidak ditentukan oleh keadaan, melainkan pola pikirnya. Satu keadaan bisa menimbulkan banyak sekali ekspresi respon manusia yang bergantung pada masing-masing pola pikirnya.

“Memang bagi orang yang cenderung depresif, berpeluang besar untuk bunuh diri walau sebenarnya bunuh diri itu sendiri tidak menyelesaikan masalah.”

“Kenapa dianggap masalahnya nggak selesai? Kan orangnya sudah mati.”

“Masalah yang dihadapi dan orang yang menghadapi adalah dua hal yang berbeda. Dengan orang yang menghadapi, mati misalnya, memang orang tersebut nggak akan menderita lagi, tapi masalah yang dihadapinya nggak selesai. Masalah itu akan tetap ada. Malah justru dengan orang tersebut mati, bisa jadi menambah masalah baru.”

“Kalau misalnya, nggak punya keluarga, nggak ada rumah secara harfiah maupun nggak harfiah, nggak ada apa pun yang mempengaruhi nya agar mau tetap hidup .. masalahnya memang ada di dalam dirinya dan dia berpikir masalah itu akan lenyap bersama dirinya setelah mati?”

“Masalahnya memang seolah lenyap, tapi tetap, kan? Masalahnya nggak selesai?”

Di situ, saya baru benar-benar bisa melihat hal tersebut sebagai dua hal yang berbeda. Ini sama seperti seandainya Einstein memutuskan bunuh diri karena masalah kuantum gravitasi tidak bisa dia selesaikan. Keputusan bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah kuantum gravitasinya. Masalah kuantum gravitasi yang tidak terselesaikan akan tetap tidak terselesaikan meskipun dia mati (sebetulnya, sesuatu yang Einstein berusaha pecahkan bukan kuantum gravitasi, saya lupa apa, tapi ini hanya contoh asal saya).

“Lalu kenapa bunuh diri dianggap tragedi bagi masyarakat? Kenapa dianggap buruk?”

“Begini; kalau serangkaian peristiwa seseorang yang cenderung depresif kita skalakan 1–10, sebenarnya bunuh diri itu ada di skala 10, kan? Bunuh diri itu hasil dari serangkaian peristiwa yang tidak diketahui oleh masyarakat. Mereka tahunya ‘orang itu bunuh diri’, tapi tidak tahu kenapa bisa orang itu sampai bunuh diri.”

Eureka. Mungkin itu kenapa dianggap tragedi. Mereka tidak tahu proses internal (pola pikir dan perasaan) yang menyebabkan bunuh diri terjadi. Dan dengan begitu, peluang ‘bunuh diri’ bisa muncul di lingkungan terdekat mereka. Selain itu, pada dasarnya, manusia berempati pasti tersiksa batinnya ketika mendengar kematian.

Kemudian, saya bilang sesuatu mengenai bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang harus punya makna agar tetap hidup. Psikolog saya bilang, “Pohon bisa jadi punya makna.”

“Pohon nggak punya makna hidup.”

“Gimana bisa tahu?”

Saya terdiam karena baru sadar kalau saya sedang sok tahu. Beliau lalu bilang, “Bisa jadi bagi pohon, meneduhkan makhluk hidup di sekitarnya adalah makna hidup buat dia.”

“Kalau pun aku nanya ke pohon apa dia punya makna hidup, kan nggak akan dijawab oleh pohon itu. Komunikasinya jadi hanya satu arah, kan?” lalu saya diam lagi setelah berkata begitu karena menyadari hal lain, “Saat kita bilang bahwa ‘pohon punya makna hidup dan itu mungkin adalah ..’, sebenarnya kita sebagai manusia sedang memproyeksikan apa yang kita punya pada pohon itu, manusialah yang mengenal kosakata ‘makna’ dan manusia suka mempersonifikasikan banyak hal.”

Perkataan saya kemudian dibalas dengan diamnya beliau beberapa detik, lalu beliau berkata, “Salahkah? Manusia mempersonifikasikan?”

“Bagi saya, perilaku manusia nggak bisa dinilai benar atau salah. Benar atau salah, kan, nilai 1 atau 0. Ketika si A misalnya merespon kejadian dengan cara yang berkebalikan dari orang-orang, nggak bisa dibilang benar atau salah, kan? Lebih cocok kalau boleh atau nggak boleh, sesuai atau nggak sesuai.”

“Ya, saya setuju soal itu. Seperti kamu yang sebelumnya pernah mencoba bunuh diri, dengan pola pikir yang cenderung depresif dan ditambah karakter kamu yang cenderung konseptual — kamu pernah bilang kamu membayangkan damainya ketika kamu mati, kan? — ya .. sesuai. Memang akan seperti itu.”

Cenderung konseptual. Membayangkan. Seperti John Nash yang akhirnya bisa melihat bahwa pengawas misterius dan anak kecil yang ditemuinya hanyalah halusinasi belaka, di akhir sesi saat itu saya akhirnya bisa melihat bahwa ketakutan saya akan realitas, bagaimana mengerikannya ‘apa itu realitas yang sebenarnya’ .. hanyalah interpretasi saya saja. Se-“objektif” apa pun saya melihat dunia dan kehidupannya, cara saya memahami akan terbatas pada interpretasi dari lensa negatif yang dibuat oleh otak saya yang sedang “sakit” kala itu.

Life can be scary or not, depends on the way you see.

Dan begitulah, layaknya puzzle yang berhasil saya selesaikan dan baru tampak gambaran utuhnya, akhirnya saya bisa melihat lebih jernih apa yang sebetulnya terjadi pada diri saya saat itu dan paham lebih jauh mengenai keputusan bunuh diri serta konsekuensi yang menyertainya. Finally, I can move on from this problem and breathe again.

Percakapan tersebut memang tidak langsung membuat saya bersemangat untuk melanjutkan hidup. Setelahnya, saya masih menjalani beberapa sesi CBT sampai saya benar-benar dinyatakan kembali fungsional sebagai manusia di kemudian hari. Namun, setidaknya percakapan tersebut menjadi momen di mana saya, genuinely, memutuskan untuk tidak bunuh diri dan berani melanjutkan hidup.

--

--